Saturday, May 24, 2008

Sebuah Teladan Yang (Masih Sangat Sulit) Diteladani

Kisah ini saya dapat dari khotbah beberapa pemuka agama (Islam), tentang sosok seorang khalifah, atau kalau zaman sekarang identik dengan pemimpin suatu kaum atau bangsa. Yang beragama Islam tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Umar bin Khattab, atau mungkin juga disebut sebagai Sayyidina Umar. Mohon maaf kalau saya keliru menulis, karena ini berdasarkan ingatan, dan sebuah inspirasi yang tiba-tiba muncul, terutama pasca menyimak sehari penuh berbagai informasi seputar dampak naiknya harga Bahan Bakar Minyak.

Pada suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab sedang berjalan keluar malam-malam sendirian. Beliau memang punya sebuah kebiasaan kluyuran malam-malam, untuk melihat sendiri apakah rakyatnya sudah bisa tidur dengan nyenyak, atau mungkin masih ada yang kelaparan sehingga belum bisa tidur. Umar berjalan seorang diri, tanpa teman, tanpa pengawal, apalagi ajudan, dan tidak dengan ramai-ramai dan hiruk-pikuk layaknya seorang pemimpin yang mau bersafari ke daerah.

Ketika sedang asyik berjalan, sambil mengamati rumah-rumah penduduk, tiba-tiba Umar mendengar ada suara anak kecil menangis, dan suara ibunya yang berusaha membujuk supaya sang anak menghentikan tangisnya. Kata sang ibu, "Sebentar ya nak, sebentar lagi matang kok. Tidurlah engkau sampai nanti kubangunkan."

Sang anak rupanya sudah tidak tahan lagi dengan lapar yang dirasakannya. Ia terus saja menangis, bahkan semakin keras. Sang ibu sudah sangat panik, bingung tidak tahu lagi harus berbuat apa, sementara dia sendiri tidak punya uang sepeserpun, untuk dibelikan bahan makanan, demi mengenyangkan buah hati tercintanya.

Saat itulah terdengar pintu diketuk, dan tampak sosok Umar bin Khattab, yang ternyata tidak dikenali oleh ibu itu. Ini juga karena Umar selalu menyamar, setiap kali akan berpatroli seperti yang sekarang sedang dilakukannya.

"Maaf ibu, saya tadi mendengar suara anak menangis. Anak ibukah itu?" tanya Umar. Sang ibu menjawab, "Iya benar Pak. Anak saya ini lapar, tapi saya tidak punya uang untuk membeli bahan makanan."

Khalifah Umar terkejut, "Terus yang saya dengar tadi ibu mengatakan, sebentar lagi matang, itu apa bu?"

Dengan tersipu malu, sang ibu menjawab, "Itu hanya sebuah batu. Saya tahu batu tidak akan pernah bisa dimakan, tapi hanya ini cara yang bisa saya gunakan, supaya saya bisa menenangkan anak saya. Andai saja khalifah Umar ada disini, saya akan mencakar-cakar wajahnya, karena dia sudah tega menyengsarakan rakyatnya!"

Mendengar itu, Umar bin Khattab langsung mohon diri, dan langsung pulang menuju kediamannya. Umar langsung menuju ke gudang tempat penyimpanan makanan, dan langsung diambilnya sebuah karung berisi bahan makanan yang paling besar. Karung itu kemudian diangkatnya, dan dipikulnya sendiri, untuk dibawa keluar kembali menuju rumah sang ibu yang malang itu. Beberapa ajudan Umar, begitu mengetahui bosnya mikul beras sendirian, langsung menawarkan bantuan untuk mengangkatnya. Tapi dengan tegas Umar justru berkata, "Kalau kalian mau memikulkan karung ini, apakah berarti kalian mau memikul juga dosa-dosaku? Biar aku yang membawanya, karena aku merasa berdosa, telah menelantarkan rakyatku, sampai-sampai dia harus membohongi anaknya yang menangis kelaparan, karena tidak punya uang untuk membeli makanan."

Para ajudan itu tertegun, tidak bisa berkata apa-apa, tapi tidak sedikit diantara mereka yang juga menitikkan air mata, melihat kearifan pemimpin mereka itu. Umar bin Khattab kemudian memikul karung bahan makanan itu sendirian, ketempat sang ibu yang tadi merebus batu itu. Jarak antara kediamannya dengan rumah sang ibu cukup jauh. Tapi karena tekadnya sudah bulat, tidak ingin menyengsarakan rakyatnya, bahkan barang seorangpun, Umar memikul karung itu, dan berjalan tanpa kenal lelah.

Sesampainya dirumah ibu yang malang itu, Umar kembali mengetuk pintu. Ibu itu sangat terkejut, melihat Umar kembali datang, kali ini membawa karung besar berisi bahan makanan. Sambil terisak ibu itu berkata, "Alhamdulillah tuan, anda sudah sangat berbaik hati kepada saya. Semoga Allah membalas kebaikan tuan dengan balasan yang berlipat ganda. Tapi, siapakah tuan ini sebenarnya?"

Ketika Umar menyebut namanya, ibu ini tersentak dan langsung bersujud dihadapan sang Khalifah. Dia minta maaf karena pada pertemuan sebelumnya, sempat mencela sang Khalifah. Tapi Umar bin Khattab justru memegang tangan sang ibu, dan membantunya untuk berdiri. Umar kemudian berkata, "Justru seharusnya sayalah yang bersujud pada ibu, karena ibu sudah menyadarkan saya, bahwa tidak ada gunanya kekuasaan yang saya miliki, kalau rakyat saya ternyata masih ada yang sengsara seperti ini. Sungguh Allah sudah memberi hidayah kepada saya melalui ibu. Terimakasih..."

No comments: