Tuesday, February 24, 2009

Antara Popularitas dan Intelektualitas

Seringkali dengar ungkapan diluaran sana, mumpung ada kesempatan, mumpung ada yang nawarin, mumpung ini dan mumpung itu, banyak deh pokoknya. Di dunia entertainment misalnya, ndak sedikit bintang sinetron jadi penyanyi, begitu juga sebaliknya. Dan masih dari dunia gemerlapan itu, ternyata ada lahan lain yang bisa digarap, terutama buat para artis yang pengen memanfaatkan aji mumpung.

Apa itu? Menjadi caleg. Ya! Dunia politik sekarang lagi gencar-gencarnya buka lowongan untuk para bintang sinetron dan siapapun yang merasa dirinya artis. Mulai artis jaman dulu sampai masa depan, semua boleh jadi caleg. Alasan partai-partai politik yang buka lowongan untuk mereka itu klise aja, karena artis kan pasti banyak penggemarnya. So, pasti ada harapan besar buat meraup suara terbanyak. Maka bermunculanlah nama-nama yang dulu lebih kita kenal sebagai bintang film atau sinetron, ketimbang pejabat negara. Mulai Rano Karno yang sekarang sukses jadi Wakil Bupati Tangerang, Dede Yusuf si bintang Bodrex yang jadi Wakil Gubernur Jawa Barat, sampai Adjie Massaid yang jadi anggota DPR RI. Yang gagal pun juga ada, macam Primus Yustisio yang gagal jadi Wabup sebuah kota di Jawa Barat, dan akhirnya sempat berperkara dengan pendukungnya.

Dilarangkah mereka jadi caleg atau bahkan capres sekalipun? Tentu saja tidak, karena sesuai UUD'45, semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat, berhak untuk memilih dan dipilih. So, apa yang salah dengan mereka?

Sebetulnya sudah rahasia umum kalau beberapa artis yang menjadi caleg, ternyata tidak membekali diri dengan pengetahuan yang memadai, sehingga daya pikir dan nalar mereka cekak, dan akhirnya tidak tahu harus menjawab apa kalau ada yang tiba-tiba bertanya tentang perannya di legislatif atau eksekutif nantinya.

Jadi inget beberapa hari lalu sempat nonton sebuah acara debat caleg dari tiga partai politik, dan ndilalah ketiga caleg partai-partai tersebut adalah selebritis. Waktu disuruh menyampaikan visi dan misi oleh panelis, mereka sangat bersemangat memajukan petani, sehingga tanpa sadar mereka jadi berucap janji yang sangat tinggi di angkasa.

Yang kemudian membuat saya merasa antiklimaks dan akhirnya justru eneg dengan mereka, adalah ketika Imam B. Prasojo, panelis yang juga seorang sosiolog dari Universitas Indonesia mengajukan pertanyaan sepele. Pertanyaannya adalah, apa sih tugas DPR itu? Dan jawabannya, pada ngalor ngidul! Kebodohan mereka makin bertambah kelihatan tatkala panelis lain menanyakan analisis mereka tentang UU soal pertanian, yang ada malah janji-janji manis sampah seperti yang pernah dilontarkan para pendahulu mereka dan tak pernah terlaksana sampai sekarang!

Mungkin memang ada kursus politik di partai politik. Tapi kalau tugas di DPR aja ndak tau, apalagi ndak bisa menganalisis UU yang kelak jadi kewajiban mereka untuk memperbaiki dan melaksanakannya, mending mundur aja dari sekarang. Jauh lebih baik para artis kapiran itu berakting di layar kaca, layar bioskop, atau layar tancep sekalian. Kalo aktingnya disitu, penonton pasti suka. Ujung-ujungnya kalo terpilih, mereka pasti akan meraih Panasonic Awards, atau minimal gelar Artis Paling Ngetop. Produser untung, mereka juga untung karena selain namanya makin terkenal, kocek pasti makin tebal karena banyak yang nanggap main sinetron atau jadi presenter. Lha kalo aktingnya di kursi dewan? Rakyat jadi taruhannya sodara! Apalagi ndak ada istilah cut atau retake. Yang ada kebencian mendalam dan bisa jadi turun-temurun kalo legislasi yang dihasilkan tidak memperjuangkan aspirasi rakyat, dan itu ndak akan terhapus dalam waktu lama. Nama rusak, citra terpuruk, dan masih ada resiko negatif lainnya. So, please deh! Buat para artis yang bernafsu jadi pejabt, pikir lebih bijak lagilah! Kalo jadi artis, ente cuma mewakili diri sendiri. Tapi kalo jadi pejabat, ente mewakili rakyat. Wong khalifah dan sahabat Rasulullah aja malah nangis waktu ditunjuk jadi pejabat, karena takut ndak sanggup menjalankan amanah maha berat itu, ini kok malah nafsu pengen njabat. Huh!