Tadi pagi baca Jawa Pos terbitan hari ini, pandangan saya tertumbuk pada sebuah kisah tentang seorang konglomerat besar, dengan penghasilan lebih dari 100 triliun Rupiah dan masuk daftar ke-94 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes. Bukan perkara jumlah uangnya yang bikin saya terbelalak, karena toh nilai kekayaannya masih jauh dibawah Seikh Mansour, seorang triliuner asal Uni Emirat Arab sekaligus pemilik baru klub Liga Inggris Manchester City, dengan nilai kekayaan 245 triliun Rupiah lebih. Yang bikin saya ternganga dan nggak habis pikir, si Adolf Mercke nama konglomerat itu, justru telah mengakhiri hidupnya secara tragis, dengan menabrakkan diri ke kereta api yang lewat di dekat rumahnya. Rumah si konglomerat ini memang dekat dengan rel kereta api, tapi tentu saja keluarganya tidak pernah menyangka, salah satu pemilik saham Volkswagen ini mengakhiri hidupnya setragis itu.
Kenapa dia sampai tega mencabut nyawanya sendiri? Padahal sang malaikat pencabut nyawa sendiri mungkin masih belum ditugasi Tuhan buat mencabut nyawa sang konglomerat. Ternyata jawabannya adalah, Mercke sangat shock dengan krisis global yang sekarang melanda dunia, karena dengan munculnya krisis yang berawal dari kasus kredit macet perumahan di Amerika Serikat itu, ternyata berimbas pada jatuhnya nilai saham di bursa efek untuk berbagai jenis usaha dan hampir semua perusahaan yang go public. Menurut keterangan anggota keluarganya, Mercke mendedikasikan hidupnya untuk keluarga dan juga perusahaannya. Apalagi dia mewarisi beberapa perusahaan dibidang farmasi dari ayahnya. Belum lagi usaha-usaha lain seperti grosir farmasi dan juga kepemilikan mayoritas sahamnya Volkswagen.
Ternyata, Mercke tidak sendirian. 5 Januari kemarin juga ada Steven Good, taipan real estat Amerika Serikat. Dia ditemukan meninggal di hutan dekat Chicago. Dugaan yang muncul, dia tewas akibat tidak kuat kena krisis. Ini juga bukan kasus pertama, karena sejak krisis global mulai memukul perekonomian dunia akhir tahun lalu, ada beberapa nama lain yang memilih mengakhiri hidupnya karena merasa tidak sanggup mengatasi krisis finansial yang menimpanya. Salah satu diantaranya adalah Thierry De La Villehuchet, seorang manajer investasi asal Perancis.
Begitu baca semua informasi yang dimuat Jawa Pos pagi tadi, terus terang saya tiba-tiba teringat obrolan saya dengan seorang sopir taksi, waktu saya menumpang dari rumah mertua di Sidosermo menuju ke Perak. Ketika saya naik, sang sopir - mohon maaf saya lupa namanya - baru saja mengganti ban taksinya yang bocor waktu ditinggal sholat Ashar. Begitu roda-roda taksi bergulir, obrolanpun mengalir dengan lancar. Sang sopir yang ternyata rumahnya nggak jauh dari rumah orangtua saya di kawasan Perak, bercerita kalau saya adalah penumpang keduanya hari itu, sesudah pertama kali dapet tarikan penumpang cuma sepuluh ribu Rupiah!!!
Meskipun bilang baru dapet sepuluh ribu, tapi tidak nampak wajah ngersulo atau sambat alias bersungut-sungut dan cemberut, ekspresi normal sebagian besar sopir taksi yang pernah saya naiki mobilnya. Yang ada malah dia menyatakan sangat bersyukur dengan kondisinya yang sekarang. "Yang penting Tuhan selalu ngasih saya dan keluarga kesehatan dan keselamatan dunia dan akhirat. Rezeki sih sudah diatur mas sama Yang Di Atas. Kalau disyukuri, pasti rezeki itu akan barokah, berapapun besarnya," begitu kalimat yang meluncur dengan lancar dari bibirnya yang berkumis dan berjenggot sedang itu. Saya sendiri sampai terhenyak di kursi belakang, asli heran dengan sikapnya yang bertolak belakang dengan sopir-sopir taksi yang selama ini saya temui. Apalagi si sopir kemudian bercerita, kalau dia harus menghidupi dua keluarga, keluarganya sendiri dengan dua anak, dan orangtuanya yang tinggal di kawasan Mojokerto. Dan dia sudah narik sejak masih bujangan, sampai sekarang anak terkecilnya sudah kelas 2 SD. Semua diceritakannya tanpa sedikitpun saya dengar nada menyesal atas pilihannya menjadi seorang sopir taksi. Yang ada malah dia bercerita tentang keajaiban-keajaiban yang ditemuinya setiap kali dia selesai sholat di masjid dekat dengan tempatnya ngetem, dimanapun berada. Salah satunya, ketika dia baru selesai ibadah dan akan menuju mobilnya, ternyata dia melihat sudah ada penumpang yang bahkan rela nungguin dia sholat sampai selesai. Selain itu, dia juga banyak cerita tentang anak-anaknya yang sudah pada hampir khatam Al Quran. Dia juga cerita tentang teman-temannya yang terlalu asyik bekerja untuk menumpuk penghasilan, begitu sudah dapat banyak, ternyata yang ada dia malah jatuh sakit, sehingga bahkan harta yang ditumpuknya tidak cukup untuk membayar biaya rumahsakit. Sampai-sampai dia pernah ditanya beberapa teman sesama sopir taksi, kenapa dia selalu tampak tenang, tidak pernah mengeluh, bahkan pasang tampang masam pun tidak pernah. Semua diceritakan pada saya dengan kalimat yang sangat menyentuh. Dan itu benar-benar pengalaman hidupnya sendiri.
Bayangkan teman-teman!! Seorang sopir taksi dengan penghasilan yang nggak menentu, bahkan seringkali harus tekor karena tidak memenuhi target setoran dalam sehari, ternyata bisa bersikap sangat tenang, dan mampu menghidupi istri, dua anak, dan orangtuanya yang hidup berlainan kota, tanpa harus merasa kerepotan dan kemudian mengeluh apalagi sampai mengumpat dan kemudian menyalahkan situasi dan keadaan. Semua dijalaninya dengan ikhlas dan tenang. Membayangkan dan membandingkan kisah para taipan yang bunuh diri di Jawa Pos tadi pagi, dengan kisah hidup seorang sopir taksi yang saya tumpangi mobilnya kemarin, tanpa terasa air mata saya menetes. Saya seperti disadarkan bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang bergelimang harta, tapi bahkan dia tidak tahu untuk apa sebenarnya harta itu ditumpuk setinggi dan sebanyak mungkin. Dan juga ternyata, masih banyak orang-orang yang hidupnya jauh, sangat jauh lebih susah dari para taipan dengan kekayaan triliunan Rupiah, tapi mereka bisa sangat tenang menghadapi hidup ini, bahkan mereka tidak pernah berpikir bagaimana mencari uang lebih banyak, tapi lebih berpikir bagaimana mencari bekal untuk kelak hidup di kehidupan yang lebih kekal nantinya. Sesampai saya dirumah orangtua di Perak, sesudah menyapa orang rumah, saya langsung wudhu, sholat, dan saat itulah saya nggak bisa menahan airmata. Saya sangat bersyukur dapat kesempatan mengenal sosok pak sopir taksi yang sangat sederhana, bersahaja, tapi sangat kaya pandangannya tentang hidup, jauh melebihi kekayaan para triliuner yang berlimpah ruah itu, tapi kemudian bunuh diri hanya karena kehilangan sebagian kecil dari hartanya.
Life is more than just money and wealth friends......
No comments:
Post a Comment