Yang demen nonton tipi pastinya udah nggak asing lagi dengan kontes-kontes popularitas. Sejak jaman Indosiar memperkenalkan Akademi Fantasi alias AFI yang sukses sampai 5 atau 6 seri kalo nggak salah, dan disusul RCTI dengan Indonesian Idolnya, TPI dengan KDI dan API, ajang-ajang serupa makin banyak bermunculan, dan selalu dalam format yang sama meski dengan penampilan atau kemasan yang berbeda. Si penampil disuruh mempertunjukkan kebolehannya lebih dulu, kemudian baru dikomentari, dicela, atau bahkan dipuji-puji. Setelah itu, lolos tidaknya sang kontestan ternyata bukan ditentukan dari pedasnya komentar juri atau penilai, atau pencela, atau apalah, tapi justru dari banyaknya sms yang masuk untuk mendukung sang peserta yang bakal jadi idola.
Kontes-kontes macam ini sih bukan sesuatu yang haram hukumnya, dan tidak ada alasan untuk dihentikan penayangannya, kecuali kalau memang rating dan perolehan iklan dari acara ini terus menurun. Tapi ada satu hal yang membuat saya prihatin, dan mungkin sebagian dari teman-teman yang baca juga. Ada kontes popularitas bernama Idola Cilik yang ditayangkan RCTI dan sekarang sudah memasuki sekuel yang kedua. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan kontes itu, karena toh sama saja dengan lomba foto balita, atau cerdas cermat anak SD. Tapi ada yang mengganjal buat saya, yaitu lagu-lagu yang dibawakan oleh mereka para peserta yang masih bau kencur itu ternyata bukan lagu-lagu yang pantas untuk mereka. Bukan lagu anak-anak yang digubah ulang, atau lagu anak-anak yang baru, tapi justru lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu-lagu dari kakak-kakak bahkan om dan tante mereka yang sudah dewasa.
Jujur saya gumun berat begitu melihat mereka menyanyikan Racun Dunia, Dealova, Kok Gitu Sih, dan masih banyak lainnya. Karena yang saya lihat disini, kontes untuk menemukan artis-artis cilik nggak ada bedanya dengan kontes popularitas yang diikuti oleh remaja dan orang dewasa. Lagu-lagunya mirip, model penilaian dan komentarnya mirip, penentuan pemenangnya apalagi. Sambil inget-inget dan buka-buka referensi lagu anak-anak, saya menemukan begitu banyak lagu anak yang bisa digubah ulang untuk dinyanyikan. Kalau toh panitianya males dengan konsep band, Kak Nunu yang memang jagonya lagu anak bisa tuh dikontrak untuk tampil. Garapannya oke punya, dari lagu anak yang sederhana sekali, bisa menjadi karya bernuansa klasik yang indah.
Kalo begini terus, saya yakin lagu anak-anak macam Bintang Kecil, Pelangi, Tiki-tik Hujan, Lihat Kebunku sampai lagu-lagu gubahannya mbah Titiek Puspa seperti Menabung atau Saya Suka Musik pasti bakal hilang tertelan zaman. Nanti kalau sudah gitu, yang disalahkan adalah perubahan zaman dan orangtua yang nggak pernah mau mengajarkan anak-anaknya menyanyikan lagu-lagu yang memang untuk anak-anak. Pepatah orang bijak, semua itu ada peruntukannya masing-masing. Kalau satu sama lain tidak cocok peruntukannya, maka hasilnya pun jangan diharap bakal bagus. Mudah-mudahan tu panitia kontes idola yang pesertanya anak-anak bisa lebih merhatiin lagi terutama tentang konsep lagu yang akan dilombakan. Kalo masih pake lagu orang dewasa, mending nggak usah diadakan sekalian. Ingat!!!! Anak bukan miniatur orangtua!!! Mereka punya hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan jalur mereka. Seperti kata Kahlil Gibran, anak bagaikan sebatang panah. Ketika dilepas dan menancap disuatu tempat, panah tersebut adalah milik tempat tertancapnya itu, bukan lagi milik si pemanah.